Adat Mangkok Merah dan Pamabakng
“Adat
Mangkok Merah dan Pamabakng” adalah sebuah judul yang sengaja diangkat
dari permukaan, karena adat mangkok merah dan pamabakng telah di kenal
oleh masyarakat luas diluar etnis Dayak terutama dalam gerakan
meyeluruh masayarakat Dayak takala penumpasan gerakan Paraku G-30-S PKI
di Kalimantan Barat pada tahun 1967. Demikian pula adat Pamabakng yang
cukup dikenal karena telah beberapa kali diberlakukan terutama dalam
upaya perdamayan akibat kerusuhan etnis yang terjadi di Kalimantan Barat
dan tragedy berdarah di markas Armet Nagabang beberapa tahun yang
lalu. Walupun Adat ini sudah cukup dikenal dikalangan masyarakat luas,
namun adat ini perlu diangkat dalam suatu tulisan demi untuk persamaan
presepsi tentang adat itu karena selama ini mungkin terdapat perbedaan
presepsi dikalangan masayarakat luas bahkan dikalangan masayarakat
Dayak sendiri.
Kedua jenis adat ini mempunyai keunikan tersendiri ibarat dua sisi yang
bersebaranagan namaun mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Mangkok
Merah adalah adat yang bersifat sakral dan memaksa untuk mengarahkan
masa demi tujuan tertentu sementara pamabakng adalah adat yang bersipat
sakral yang harus dipatuhi dalam upaya perdamaian akibat adanya suatu
komplik berdarah.
Dengan demikian selain bersebrangan dan mempunyai keterkaitan yang
sangat erat, kedua adat ini fungsinya seolah-olah bertentangan.
Terlepas dari pendapat pro dan kontra secara esensi adat ini perlu
dipertahankan dan di lesatarikan, namun apakah ia masih tetap
dipertahankan dan dilestarikan, namun apakah ia masih tetap ditaati dan
di patuhi terutama di era globalisasi yang serba moderen ini.
ADAT MANGKOK MERAH
Berdasarkan jenis alat peraganya, pada mulanya adat ini bernama mangkok
jaranang. Jaranang adalah sejenis tanaman akar yang mempunyai getah
berwrana merah. Getah akar jaranang ini di pergunakan sebagai penganti
warna cat merah karena pada waktu itu orang belum mengenal cat. Akar
jaranang yang berwarna merah ini dioleskan pada dasar mangkuk bagian
dalam.
Oleh karena itu ia disebut mangkok merah. Pada jaman dahulu apabila
dalam suatu kasus pihak pelaku tidak bersedia di selesaikan secara adat
maka pihak ahli waris korban yang merasa dihina dan dilecehkan
kehormatan, harkat dan martabatnya atas kesepakatan dan musyawarah ahli
waris segera melakukan aksi belas dendam melalui pengerah masa secara
adat yang disebut adat mangkok merah. Kasus tersebut biasanya mangkuk
menyangkut kasus parakng- bunuh ataupun kasus pelecehan seksual dan
lain sebagainya yang sifatnya mengarah kepada pelecehan dan penghinaan
terhadap ahli waris.
Alat Peraga dan Maknanya
Alat paraga mangkok merah terdiri dari :
• Sebuah mangkuk sebagi tempat/sarana untuk meletakkan alat paraga lainnya.
• Dasar mangkuk bagian dalam dioles dengan getah jaranang berwarna merah yang mengandung pengertian “ Pertumpahan darah “.
• Bulu/sayap ayam yang mengandung pengertian “ Cepat “, segera, kilat, seperti terbang”.
• Tabur atap daun ( ujung atap yang terbuat dari daun rumbia)
mengandung pengertian bahwa yang membawa berita itu tidak boleh
terhambat oleh hujan karena ada terinak ( payung ).
• Longkot api ( bara kayu api baker yang sudah di pakai untuk memasak
di dapur ) yang mempunyai pengertian bahwa yang membawa berita tidak
boleh terhambat oleh petang/gelap malam hari, karena sudah disedikan
penerangan api colok dsb.
Alat para mangkok merah dikemas dalam mangkok yang telah diberi warna
merah jaranang kemudian di bungkus dengan kain. Beberapa orang yang di
tunjuk utnuk menyampaikan berita sekaligus mengajak seluruh jajaran
ahli waris itu sebelumnya di berikan arahan mengenai maksud dan tujuan
mangkok merah itu, siapa saja yang harus ditemui, kapan berkumpul,
tempat berkumpul dan lain sebagainya. Tentu saja mereka yang membawa
berita mangkok merah tersebut tidak boleh menginap bahkan singah
terlalu lamapun tidak boleh. Walau hujan lebat dan petang gelap
sekalipun mereka harus meneruskan perjalanannya.
Seperti yang diuraikan dalam pendahuluan, bahwa yang melatar belakangi
terjadinya adat mangkok merah itu karena akibat adanya suatu yang tidak
mau diselasaikan secara adat oleh pelakunya sehingga dianggap telah
menghina dan melecahkan harkat dan martabat ahli waris korban. Damai
kehormatan,harakat dan maratabat ahli waris sehingga mereka mengadakan
upaya pembalasan dengan mengumpulkan ahli waris melalui adat mangkok
merah. Misalnya seorang yang mati terbunuh apabila dalam waktu 24 jam
tidak ada tanda-tanda upaya penyelesaian secara adat maka pihak ahli
waris korban segera menyikapinya dengan suatu upaya pembelasan, karena
perbuatan sipelaku di anggap telah menentang pihak ahli waris korban dan
ia pantas dihajar sebagai binatang karena tidak beradat. Selanjutnya
digelarlah adat mangkok mereah seperti yang telah di jelaskan di atas.
Sebagai mana di jelaskan di atas bahwa gerakan mangkok merah muncul
untuk membela kehormatan, harkat dan martabat ahli waris yang telah
dihina dan dilecehkan. Dengan demikian tentu saja gerakan ini menjadi
tangung jawab ahli waris. Menurut masyarakat adat Dayak Kanayatn
susunan/turunan page waris samdiatn itu dapat digambarkan menurut garis
lurus yaitu :
1. Saudara Sekandung ( tatak pusat ) disebut samadiatn.
2. Sepupu satu kali ( sakadiritan ) di sebut kamar kapala.
3. Sepupu dua kali ( dua madi’ ene’ ) di sebut waris.
4. Sepupu tiga kali ( dua madi’ ene’ saket ) di sebut waris.
5. Sepupu empat kali ( saket ) di sebut waris.
6. Sepupu lima kali ( duduk dantar ) di sebut waris.
7. Sepupu enam kali ( dantar ) di sebut waris.
8. Sepupu tujuh kali ( dantar page ) di sebut waris.
9. Sepupu delepan kali ( page ) masih tergolong waris.
10. Sepupu sembilan kali, dah baurangan tidak tergolong waris.
Dari uraian tersebut jelaslah bahwa yang mulai disebut waris adalah
pada turunan sepupu tiga kali atau dua madi’ene’, sehinga mereka yang
termasuk dalam turunan ini di anggap sebagai kepala waris atau waris
kuat. Merekalah yang berhak memimpin gerakan ini sifatnya mangkok
mereah.
Sebagai mana telah di jelaskan dalam pendahuluan maka sifat-sifat yang terkandung didalam adat mengkok merah tersebut adalah :
1. Seluruh acara pelaksanaan adat mangkok merah dari mulai
bermusyawarah/mufakat hinga pemberangkatan bala, sarat prilaku-prilaku
mistik relegius, oleh karena itu adat bersifat sakral.
2. Pihak ahli waris yang dituju atau yang menerima berita mengkok merah
demi menjunjung tinggi harkat dan martabat serta kehormatan ahli waris
mereka harus ikut. Apabila mereka tidak ikut, mereka dapat dicap
sebagai pengecut dan tidak menaruh rasa malu. Dengan demikaian mereka
terpaksa harus ikut. Jadi dalam adat mangkok merah terdapat sifat
mengikat atau memaksa.
Menelusuri proses pelaksanaan adat mangkok mereah, ternyata bahwa
pelkasanan dan penangung jawab adat mengkok merah adalah selauruh
jajaran ahli waris korban di pimpin oleh ahli waris dua madi’ ene’
sebagai kepala waris. Sedangkan sasarannya adalah pihak pelaku yang
tidak bersedia membayar hukuman adat senhinga di anggap telah
melecahkan dan menghina pihak ahli waris korban. Apabila bala telah
bernagkat menuju sasaran hampir tidak ada alternatif lain untuk
pencegahan, kecuali dengan upaya adat dimana pihak pelaku harus memasang
adat pamabang.
ADAT PAMABAKNG
Sebagai mana telah diuraikan diatas bahwa adat mangkok merah dan adat
pamabang ibarat dua sisi yang berseberangan dan mengandung makna yang
bertentangan namun keduanya mempunyai keterikatan yang sangat erat.
Telah diuraikan pula pelaksanaan adat mangkok merah mempunyai dampak
yang sangat negatif, akan tetapi sebagai alat ia sangat tergantung
kepada pemakaiyannya. Dengan demikian ia dapat pula berdampak positif,
misalnya penggunaan adat mangkok merah pada saat pemumpasan paraku
G-30-S PKI di Kalimantan Barat pada tahun 1967.
Alat Peraga
Sementara itu adat pamabankng mempunyai dampat yang sangat positip
mengupayakan penyelasaian komplik sejarah damai. Bala yang akan
menyerag setelah mengadakan pengerahan masa melalaui adat mangkok
merah. Harus cepat di antisipasi oleh pengurus adat , dalam hal ini
temenggung dibantu oleh pasirah dan pangaraga. Mereka harus segera
memeberi tahu sekaligus memerintahkan kepada ahli waris di bantu oleh
msayarkat kampung untuk memasang adat pamabakng, dengan alat paraganya
sebagai berikut :
- 1 buah tempayan jampa diletakkan di atas jarungkakng banbu kuning ditutup pahar dengan posisi telungkup.
- Kemudian ada pelantar di taruh di atas talam lengkap dengan topokng (
tempat sirih ) dan beras beserta alat-alat palantar lainnya lengkap
dengan ayam 1 ekor sedapatnya berwarna putih, tidak berwarna merah.
- 1 buah bendera berwarana putih yang dipasang di dekat tampayan jampa.
- Kemudian di dekat tempayan jampa harus ada papangokng ( penggung kecil dari kayu ) untuk meletakkan palantar.
- Disekitar pamabang terhampar bide untuk tempat duduk dan bermusyawarah dengan bala yang akan datang.
- Tempayan jamba melambangkan tubuh korban jika terjadi pada kasus pembunauhan, dan sebagai tanda pengakuan adat bagi pelaku.
- Ayam putih dan bendera putih sebagai simbol perdamaian.
- Beras banyu sebagai simbol perampunan sekaligus untuk menenangkan hati yang sedang dilanda emosi.
- Topokng tempat sirih dipergunakan untuk menyapa bala yang datang.
Pamabankng harus ditunggu oleh temenggung dan jika temenggung tidak
ada/berhalangan, pamabakng di tunggu oleh pasirah atau oleh tua-tua adat
yang dianggap mengerti tentang adat. Selain mengerti tentang adat
orang yang menunggu pemabankng haruslah orang yang bijaksana dan
biasanya pula harus orang yang punya ilmu dalam mengatasi kasus seperti
itu misalnya mantra dan jampi-jampi yang di sebut sanga bunuh,
bungkam, kata gampang, pelembut hati seperti pangasih dan lain-lain
masksudnya agar saran serta naseihat dsb. Dapat dipakai oleh pihak bala
yang sedang emosi.
Apa bila keadaan yang sangat gawat dan rawan, pamabankng dapat di
pasang lebih dari satu yaitu dipersimpangan jalan masuk dan di ujung
pante ( pelataran ). Maksudnya adalah apabila pamabakng yang satu tetap
dilangar, masih adalagi pamabnag lain yang terakhir. Pamabakng yang
terakhir ini merupakan pertahanan terakhir sehinga apabila pamabang
terakhir inipun di langar maka tidak ada alternatif lain selain harus
mengadakan perlawanan dan perang kelompok ahli warispun tidak dapat
terelakan. Perbuatan ini dapat menyebabkan ririkngnya adat raga nyawa,
artinya adat raganyawa tidak dibayar. Namun sepanjang sejarah perjalanan
adat hal seperti ini tidak pernah terjadi. Pada saat bala tiba di
tempat pamabang, segera penunggu pamabakng menyapanya dengan topokng
sekaligus di persilakan duduk. Ia mulai membentakangkan arti dan makana
pamabakng bahwa pihak pelaku mengaku bersalah dan bersedia
menyelasaikannya secara hukum adat. Biasanya setelah mendengar
penjelasan itu pihak bala melampisan emosinya dengan menikamkan
senjatnya ketanah di sertai dengan tangisan karena hatinya kesal tidak
mendapat perlawanan.
Maka yang paling penting dari adat pamabakng ini adalah :
1. Jika pamabakng tidak di pasang, dapat diartikan :
a. Bahwa pihak pelaku menetang pihak ahli waris korban untuk berkelahi atau perang antar kelompok ahli waris.
b. Pihak pelaku tidak mau sama sekalai membayar adat.
c. Pengurus adat seolah-olah membiarkan dan malahan menghasut kedua belah pihak untuk saling menyerang.
2. Jika pamabakng sudah terpasang dapat di artikan :
a. Kasus tersebut sudah di tangan pengurus adat
b. Pihak pelaku sudah mengakui kesalahannya dan besedia membayar hukuman adat.
Adat pamabakng adalah adat bahoatn artinya hanya untuk dipajang bukan
untuk di bayarkan. Setelah bala datang mereka harus di bore baras banyu
dan selanjutnya dilakukan persembanhan kepada jubata. Pamabakng teteap
terpasang selama adat belum diselesaikan dan paling lama selama 3 hari.
Sumber: http://yohanessupriyadi.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar